Wednesday, January 28, 2004

Bulu Ketiak

Bulu ketiak keriting njegrik dari bawah pangkal lenganmu , protes akan ketidak adilan. Kata mereka:

“Kau kira tidak tesiksa berada dibawah kempitan pangkal lengan berat dan berair ini, jadi pangkalan bakteri dan sering dituduh sebagai sumber bau ?”

O, bulu ketiak! Sempat kupikir kaupun pasti merasa iri pada nasib bulu mata, alis apalagi rambut yang sempat merasakan sentuhan tangan-tangan lentik meluruskan ataupun mengikalkan mereka, memotong dan mencabuti kemudian hasilnya buat dipamerkan.

Yap! Belum pernah ada yang memamerkan dengan bangga hasil pencabutan bulu ketiaknya pada masyarakat luas. Dan tidak pernah ada tren model bulu ketiak kecuali saat Samson jadi juara. Bulu ketiak gondrong maha sakti. Cuma milik Samson, bukan?

Bulu ketiak melakukan peregangan, berharap hasilnya akan seindah hasil rambut yang di re-bonding. Tapi alih-alih menjadi lebih lurus malah jadi semakin keriting, merasa stress, dibekap dibawah pangkal lengan penuh keringat. Ah, nasib katanya. Teringat pula pada nasib kawan sesama bulu…

“ Sampai sekarang aku masih memikirkan, apa sih maksud-Nya aku ditumbuhkan disitu? “

Maaf. Tapi aku bukan ahlinya!

(BuRuLi, LeBul: 28.01. 2004)

Monday, January 26, 2004

Bayi Perempuan yang Tak Pernah Diinginkan

Ya. Ibuku bidadari. Matanya tajam seperti elang. Aku tidak. Aku bukan mahluk menakjubkan seperti dia. Aku Cuma bayi perempuan biasa. Iapun malu melahirkan aku.

Bidanku seorang raksasa. Dua taringnya menghujam dunia. Ia tinggi besar dan hitam. Kau akan takut kecuali kau kenali sinar di matanya. Ada matahari hangat terbit disana. Ia basuh mukanya dengan darahku. Darah anak bidadari yang ingin membuang bayinya. Makan saja bayi itu kalau kau mau! Kata ibuku.

Raksasa itu menangis. Ibuku menangis. Dua tangisan yang bersamaan dengan alasan yang sama sekali berbeda. Ibuku mengharapkan seorang pangeran mengoek dari perutnya. Ia benci mendapatkan bayi kecil mirip babi. Demikian kukira ibu bidadari itu mengenangku.

Raksasa itu menangis. Tak seorang jantanpun meminangnya. Tak seorangpun bayi lahir dari rahimnya. Ia menangis. Ada mahluk mungil dihadapannya. Ia tersinggung disangka demikian buas. Seandainya ibu itu bukan bidadari, maka dialah yang akan dibunuhnya!

Aku masih ingat bagaimana rasanya melayang dipangkuan Sang Dewi Raksasa. Bau mulutnya yang khas. Suaranya menggelegarkan kidung cinta. Tidurlah anakku. Puteri Dewi semanis madu. Tidurlah di hangat dadaku…

Mataku basah. Basah oleh airmatanya. Airmata Dewi Raksasa yang perkasa. Ketika bidadari itu pamit hendak terbang pulang, Dewi Raksasa berkata:

“Aku tak akan pernah berterimakasih, atas kudapan segar di genggamku ini. Juga takkan berterima kasih karena telah kau lempari aku segumpal cinta bermata jernih. Makan saja sendiri olehmu kenangan biadab ini. Kau akan kehilangan dia sampai mati! Kau tak suka bayi perempuan? Hanya mereka yang bisa sungguh-sungguh menyelamatkanmu!”

Perempuan tua cantik itu kini terbaring di atas peraduan beledu. Ibu Dewi Raksasa berdiri di depan gapura, setia menungguku. Nak, kata ibu dewi gagahku itu. Jenguklah ia. Ia sudah sengsara terantuk dosa. Bidadari tua gila. Ia tidur disana duabelas tahun lamanya. Sendiri. Sendiri menghitung sepi…

(BuRuLi, LeBul: 26.01.2004)

Sunday, January 25, 2004

The Most Unwanted Baby is Me!

The most unwanted baby is Me!
They put me under the tree, wished a hungry tiger eat me.
You know?
My mom is an angle.
Her eyes just like eagle's.
I am not.
She hates me so.
An ugly baby girl just a nightmare for her.

Yes.
She hates me.
She does.
She is an angel.
Her eyes just like eagle's.

I am not.

(BuRuLi, LeBul: 25.01.2004)

Saturday, January 24, 2004

Dzing!!

Lepaslah engaku, anak panah! Lesatlah engkau mendesing mengangin.
Menancaplah engkau!
Pada pusaran waktu yang kau cintai
lalu jadilah engkau puisi

(BuRuLi, Tarutung: 25.09.2003)


Sajak Buat Beatrice

Engkau matahari
Hangat yang tetap
Pagi yang tak pernah berhenti
Pipit yang bernyanyi
Debur yang tak pernah sunyi

Semoga kau jadikan ini rahasia bintang diantara kita
Kecil dan menyala

(BuRuLi, Medan: Octo 2003)


Catatan Buram Menjelang Pulang
: G

Lalu kutangkap bayangan sedih dalam cermin beningku sendiri
Demikian sepi cahaya mata
Energi yang tak lagi mengalir
Kata yang terhenti

Aku ingin memelukmu! teriakku
Tapi tak ada kekuatan disitu
Memeluk diri sendiri di sudut kamar
Mati membeku
Sekali lagi, tak ada energi disitu!

Aku telah letih, bahkan untuk sekedar belajar mengerti...

(BuRuLi, Medan: 2003)


Pulang!

Mengulang kembali rute kamar, ruang tamu, teras, taksi kemudian bandara.
Boarding, take off, landing, taksi lagi dan... rumah!

Aku pulang!

Rumah, pagar, ruang tamu, garasi, anjingku, bibiku, senyuman, pelukan dan ciuman...


Aku pulang!

Ah!

(BuRuLi, Medan: 10.11.2003)


Sajak Buat Gaby

Gerhana Aku Bersama Engkau
Galau Angan Berjumpa Esok
Gundah Akhir Berujung Entah
Gelisah Angin Berhembus Enggan


(BuRuLi, LeBul: 21 Nov 3003)


Friday, January 23, 2004

NEON SIGN


puisi ini tak seharusnya dituliskan pensil diatas kertas
melainkan dengan neon di atas nyala langit seperti las vegas
benderang dalam pendar pendar gas
di liuk tabung tabung berwarna
untuk segenap kota membaca

lihatlah puisi kita!

yang digores diatas cahaya cahaya neon kota
tentang waktu yang gagal memaksa
tentang kita
yang tak mampu memecah langkah ke arah berbeda
terpaku di sebuah silang
atas nama cinta


Idaman,Arwan,bungarumputliar,Cecil,Sudaryanto,Aglisius
31 maret 2003, 11.34 pm
tepian jalan kemang

Monday, January 19, 2004



Pada Suatu Pagi

Pagi yang sepi
Diam adalah badai
Hatiku berteriak
Sunyi pada telingamu

(BuRuLi, Tarutung: 23.9.2003)
Rumah Singgah

Aku adalah rumah singgah
Tempat kau titipkan luka dan harapan
Sepanjang ingatanku tak jelas lagi bagi kita
Anta tangis, doa dan tawa
Semua teraduk
Antara meja, kursi dan dapur
Lalu kasur

Aku adalah rumah singgah
Tempat kau tumpahkan segala resah, amarah dan darah.
Tempat kau menandai hari
Kemudian pergi.

(BuRuLi, Medan: 21.09.2003)
Hujan Malam

Hujan membelah malam menjadi rindu.
Sebagian lekat di pelupuk mata membayang mengaca.
Lekat asin mengaliri pipi menuju bibir lalu lenyap sebagai bisu.
Hujan malam menggambari bumi dalam sendu.

(BuRuLi, Medan: 20.09.2003)
Mencintaimu Angin

: Mas Par =P~~

Mencintaimu angin
Menikmati datang dan pergimu
Membiarkanmu terus berhembus
Ada rindu yang berputar membadai
Kubiarkan saja ia tetap menjadi

Sampai cinta terdampar entah dimana
Jatuh ke tanah sebagai apa
Tumbuh atau binasa?

Mencintaimu angin
Mendengar derumu

Dingin

(BuRuLi, Medan: Sept. 2003)
Kepak Luka Kupu Muda

Kepak luka sayap kupu terjepit rumpun bambu.
Jeritnya tertiup angin.
Pedih menyerpih tergesek daunnya yang melayu.
Ssst! Ia telah mati!
Desis ular menyanyi.

BuRuLi, Medan : 18.08.03/ 00: 30 WIB

Thursday, January 15, 2004

Sajak Tentang N

N adalah puisi
Puisi itu sendiri
Bersama N penaku melaju
Kata tumpah
Ruah ide menjamur
Merah memenuhi ruang

N adalah rindu
Rindu itu sendiri
Bersama N sunyi adalah indah
Malam adalah kenangan
Hujan adalah impian

Kemana N?

Pada suatu hari ia pamit
Puisi tumpah di dadanya
Ia telah temukan sepasang pijar
N pun mulai menepi

Dadah, N!
Seputaran waktu penaku jadi mampat
Kehilangan sesuatu bernama N
Imajiku ngadat layu tak berfungsi

Apa kabar,N?

LeBul: 14.01.2004

Wednesday, January 14, 2004

Ini Musim Kawin


Sekarang musim kawin. Seperti burung mereka bertengger sumringah di pelaminan. Kacamata yang dilepas sementara. Lensa kontak pendar indah di pupilnya.

Rukukukuuu!!

Lalu lagu "nungging ngeden, nungging ngeden ..." begitulah bunyi klenengan jawa kata temanku. "Titilono, titilono, ndang emplok'en ndang emplok'en"

Lalu ibu-ibu lain mulai teringat. Gadis-gadis mereka yang jomblo. Ada yang gelisah, ada yang biasa-biasa saja (aktingnya). Para ayah merenung: "Wah! mahalnya menikahkan anak kita!" Para bujang lelaki mulai memikirkan repotnya memenuhi permintaan keluarga para gadisnya. Dasar perempuan! Merepet sekaligus bermimpi para lelaki.

Dukun manten puasa. Gadis-gadis penerima tamu dipaksa bermekap. Konde gede-gede. Jalannya terancam nyungsep. Lelaki-lelaki jelalatan: "Pas, susunya!"

Itu pesta perkawinan. Pesta mendebarkan panitianya. Katering yang nggak bertanggung jawab. Kambing guling pesan tiga ekor kok cuma kelihatan senampanan saja? Musik yang terlalu ribut. Para tamu jadi sulit ngerumpi.

Anak-anak muda: "Bisa nggak ya, dapat pacar di pesta ini?"

Ini musim kawin. Mereka bilang yang jadi keluarga besar lebih repot ketimbang mempelainya. Kita mah cuma butuh akad saja. Modal sedikit lalu... Hehe, maaf. Ini cuma urusan berdua. Tapi tak ada yang bisa memungkiri, para mbah mungkin sakit hati kalau upacara tak dilaksanakan sedemikian rupa. Para ayah malu dianggap nggak mampu. Para ibu ingin mengenang masa lalu. Ladalah!

Haha!
Selamat kawin yang mau kawin. Semoga sukses saat akad, pesta dan seterusnya. Soale sempet ada yang setres karena mempelainya mau pingsan keberatan hiasan kepala. Setelah pesta jangan jadi layu. Masih banyak yang harus dikerjakan, bukan?

Kemudian kepada mantan pacar, mantan gebetan dan selingkuhan: "Mohon maaf lahir bathin. Doain selamet, lho!"

salam sayang: BuRuLi


## buat: para sodara dan sahabat yang mo kawin: tita, yuni, dan setiyo.
AKU MARAH! MARAH PADA DIRIKU SENDIRI!!

AKU TAHU KALAU AKU HARUS BERHENTI DAN BEGITULAH SEHARUSNYA!
DEMIKIANLAH AKU MENGERTI
DEMIKIANLAH AKU TAK DAPAT BERHENTI
LOGIKA YANG BERKHIANAT DI KEPALAKU
EMOSI MASIH DEMIKIAN SAKTI

AKU MASIH KALAH!
KALAH OLEH PERASAANKU SENDIRI!
AKU MARAH!
MARAH PADA DIRIKU SENDIRI!

(andai bisa kuludahi muka...)

Monday, January 12, 2004

Gaby? (1)

Lalu aku mengenangmu diam-diam. Mengemasmu rapih, menyimpan segala data dirimu diantara ribuan data lainnya. Namamu kutulis biru hampir hitam. Perpotongan warnaku dan warnamu? Entah. Sesungguhnya belum pernah kita bicara sampai pada lembaran warna kita masing-masing.

Aku adalah orang asing bagimu. Orang asing dalam arti yang sebenar-benarnya. Apakah kau tahu apa saja yang sanggup membuatku menangis? Tahukah kau siapa tigger dan elmo?

Aku bahkan tak pernah tahu nama ibu dan ayahmu kecuali marga yang mentereng di belakang namamu. Kau anak nomor berapa dari berapa bersaudara? Rokokmu apa?

Gila. Kadang-kadang kita sungguh mencintai kabut sedemikian rupa. Badai tak sanggup membuat kita membenci laut. Terbuat dari apakah sepotong benda bernama hati?

Takkan pernah ada penjelasan. Hormon selalu bergerak lebih cepat bahkan dibandingkan kilat. Waktu adalah debu dilipatan segala impian. Tak usah lagi kita bertanya. Demikian barangkali kita putuskan dalam diam.

Lalu engkau mengingsutkan aku dari ingatan. Demikian cepat kau sapu bersih segala kenang. Benarkah semuanya hanya sebuah kesalahan? Bagimu?

Gaby?

Saturday, January 10, 2004



Selamat malam!

Hari ini perempuan kelapa dilibat gaun tidur panjangnya. Merasa baru dan segar sekali. Sudah lama perempuan kelapa tidak bersemangat dan tidak mengerti bahkan pada sebentuk perasaannya sendiri. Sudah lama ia merasa segalanya berhenti pada satu titik dan seperti tak hendak bergerak lagi. Perempuan kelapa pernah merasa seperti perempuan mati. Mati dalam keadaan bernafas dan itu lebih buruk. Hendak kemana kau? tanya orang-orang. Perempuan kelapa diam. Ia belum bisa menjawabnya. Tidak sekarang. Belum saatnya. Jawaban itu masih menggantung di langit. Sekarang ia hanya merasakan semangat saja yang sudah mulai lagi panas baranya.

Hm!

Aku ingin menggeliat nikmat seperti ulat hendak menjadi kepompong hendak menjadi kupu-kupu! Merasakan kekosongan di padang luas selama ini ternyata menimbulkan kebosanan juga. Aku merindukan pertempuran ide pada sebuah sidang dimana aku bangga menepuk dada kemenangan atau mencaci maki penuh semangat pada apa yang tidak kusukai. Hidup sungguh bermakna ketika engkau bangun pagi dengan sebuah rencana jelas di kepala! Aku merindukan hari-hari itu. Merindukan ledakan obsesi di kepalaku. Merindukan impian yang meruah tumpah keluar dari kepala dan bersinar indah pada mata. Barangkali aku memang sedikit narsis. Tak pernah merasa buruk rupa di depan kaca kecuali bila kepalaku terasa hampa tanpa rencana-rencana. Sesungguhnya aku perempuan bombastis! Ha ha!

Hari ini aku selesai membaca sebuah buku. Kemarin aku sudah membaca bahkan dua kali buku yang sama. Tak ada satupun buku berbau akademis, jenis buku paling membosankan sedunia. Tapi aku merasa belajar banyak. Sebegitu aku merasa benci kuliah duduk tenang di bangku dan mendengarkan saja celoteh atau ceramah atau pidato atau apalah. Dan aku tidak pernah merasa lebih pintar sekeluar dari ruang kuliah, tapi aku yakin menjelma jenius setelah menghabiskan buku-buku "pelajaran itu". Aku pelajar jalanan. Kupikir itu benar. Aku akan menjadi sarjana tanpa sertifikat. Sejujurnya aku sedang berusaha berdamai dengan segala sistem ini hingga aku mau menjadi seorang mahasiswa lagi dan mengikatkan sedikit bagian diriku pada peraturan-peraturannya. Tapi aku memilih tempatku sendiri. Universitas terbuka. Ha ha!

Begitulah!

Begitulah aku bangkit kembali dari kuburku selama beberapa waktu. aku sempat mati suri, terbunuh oleh segala kesedihan yang sebetulnya hanyalah konsekuensi dari sebuah petualangan. Tapi aku tumbuh sedikit lebih berbeda dari sebelum keberangkatanku. Kupikir itu baik. Kalau kita memang merasa sudah saatnya berubah, kenapa tidak?

Bagaimana menurutmu? Apa kabar dirimu sendiri? =).