Thursday, February 27, 2003



Bila malam ini bulan setengah, mungkin lusa akan purnama!

Demikianlah kugali hariku. Sendirian. Sepi? Barangkali. Tapi selalu ada lubang untuk keluar dari himpitannya.

Kemarin kulihat bulan setengah di atas atap rumah. Lebih indah bulan sabit, kataku. Belajarlah bersyukur, katanya. Dia benar.

Hampir kukemasi barangku. Pergi. Pindah. Kemana? Entahlah. Waktu selalu menyisakan tanda tanya. Sebab aku sendirian? Barangkali. Tapi bukankah selalu ada cara? Ada yang selalu menyapamu dari dunianya!

Dunianya?
HAH!
Bukan duniaku!
Catat.
Dan aku tetap.

Demikianlah kugali hariku. Sendirian. Sepi? Memang. Tapi tak jadi kukemasi barangku. Aku akan tinggal. Sungguh? Ya. Sungguh. Dia memang benar.

Kemarin kulihat bulan setengah di atas atap rumah. Malam ini tiga perempat. Berarti besok purnama! Aku akan tinggal lebih lama.

(BuRuLi, LeBul: 03.02.03)


Ini aku, sedang bercinta dengan sepi!

Kesepian membuat jariku, hatiku, jiwaku, ragaku, semuanya menari pada papan-papan kunci bersatu dalam irama riuh seperti pesta pedih sendirian

Tangis dan tawa bercampur segala kenang segala harap segala godaan dan cobaan berbaur berlompatan sebagai baris-baris yang memekakkan

Sekali lagi,
Telingaku sendirian…

Kemudian kubisikkan keluhku pada dawai-dawai mati yang teronggok disudut ruangan…O, aku merindukanmu!

Triiing!
Ting…ting…ting…jreng!
Rat tap tap!

Habis irama lelah kuketuk keduanya
Bila bisa menjeritlah ia terjambakku, terpukulku, teremas terempas-empas emosiku ganas
JDUG!
Oh…

Begitulah!
Tak lagi kau miliki harmoni
Lelah mencampakkanmu dari simponi
Blues!
Begitulah terbakar jari!


(BuRuLi: LeBul: 14.02.2003)


Maafkan aku, Heliana!

Kan kuganti paru-paruku juga wajahku demi engkau, Heliana! Seumpama diizinkan Dia kan kulakukan segera semuanya untuk kita! Maka takkan ada lagi wajahmu penuh tanya dan desah nafasmu panjang harapkan adaku disana...

: “Kenapa?!”

Ya,
Segenap tanya yang mengendap dalam kepalaku juga

: “Kenapa...”

Kenapa udara enggan melesak dalam dada hingga harus kutinggalkan engkau meronta dalam singgasana sendirian, engkau adalah raja yang terjepit sebab harus selalu mengampuni aku...

Aku tahu, Heliana...mereka telah mulai memojokkan kita! Sebab aku adalah setan yang kau bolehkan datang dan pergi sekapan suka sebanyak udara yang dapat mengembangkan sayapku kesana!

Maka maafkanlah aku, Heliana!
Telah kupaksa engkau menjadi manusia lebih daripada hanya seorang raja!

(bungarumputliar, LeBul: 22.11.2002)


Monday, February 24, 2003



Puding Di Kepalaku


Ide-ide yang meluap telah meruah tumpah!
Dari kepalaku yang isinya seperti puding coklat legit meluncur potongan-potongan yang lengket seperti sirup rasa jeruk di lantai taman kanak-kanak
Puding dan sirup yang manis dan enak
Tapi bayangkan bila letaknya di telapak kakimu…



Ada kalanya kanak-kanak lebih pandai menyelesaikan masalah seperti ketika ia bermain dengan alat rias di kamar tidur ibunya saat jam-jam si ibu bekerja dan ia tidur siang. Begitulah ibu begitulah ia. Apa yang kau takutkan? Bilang saja kalau dia ingin cantik seperti ibu! Ia percaya. Sangat percaya: Ibu mencintainya!



Tapi puding coklat di kepalaku terancam kembali mencair. Mambutuhkan lemari pembeku untuk memepertahankannya dari panas yang melanda. Apa boleh buat. Katakan padaku: Apakah masih bisa kita percaya seperti anak pada ibunya?



Ada waktu-waktu dimana engkau begitu malas membagikan puding enak dari kepalamu itu. Begitupun aku. Kadang-kadang kupikir harus kusimpan sebagian besarnya untuk cadangan makan malam. Bukan diet yang sehat, memang. Tapi sekali lagi semuanya memang bergantung kepada keadaan. Kita bukan kanak-kanak yang makan, mandi dan tidur secara teratur sebab jasa ibu dan bibi pengasuh.



Tentang puding coklat dikepalaku, hari ini aku membuat fla yang barangkali lebih enak dari hari kemarin. Ada resep baru dan aku sedang mencobanya . Lebih bergizi dan dibuat dari bahan-bahan yang lebih terpilih. Mau mencicipi? Sebentar. Setengah jam lagi!



(BuRuLi: Lebul, 24.02.03)





: Senin Pagi


Lalu kubayangkan engkau duduk dalam gerbong kereta
Sendirian
Menghadap jendela setengah pecah
Kemarin ketika ada batu dilemparkan padanya kaupikir dirimulah sasaran tembakya
Padahal, t i d a k !
Mereka sedang lempari kesedihan mereka sendiri
Frustasi pada diri, lantas melukai
Dan...
Hei, katakan padaku!
Apakah engkau mengingatku?
Saat kau pandangi ladang kering dengan kebau di atasnya?
Demikianlah harum rumput yang pernah kau endus dariku yang tiba-tiba menghilang dan kau rindu. Kau tanya aku sore itu: Sudah tak wangi lagi? Ingin kusimpan jari agar tak usah kau ciumi lagi : sudah kering! kataku.



Lalu kubayangkan engkau duduk berhadapan dengan seorang wanita. Cantik. Muda. Sendirian. Susah payah kau ingatkan diri bagaimana caramu telah pergi dan kemana engkau akan. Maka kerling dan sapa yang kau simpan sebagai pusaka itu kau timang di hadapannya. Belai kau simpan rapat dalam kotaknya. Sebab belai adalah milik kota tujuan kalian berdua. Sekian jam dari Jakarta? barangkali. Tapi apa guna bibir bila tidak untuk tersenyum dan mencium? engkau tak suka menyanyi katamu. sudahlah. Biarkan orang melakukannya untukmu.



Lalu kubayangkan engkau turun dari kereta. Hati yang telah kembali utuh. Tak ada apa-apa di Jakarta! yakinmu. Jakarta adalah bayangan. Bahu-bahu yang bergoyang. Rambut-rambut panjang menawan dan kaki-kaki yang indah. Tapi sekian jam dari Jakarta adalah harapan berikutnya. Tak akan ada yang berubah! katamu waktu itu. Ya. Dan aku tak percaya. Hanya akan ada sekantong penuh tanggung jawab besar katamu dan itu cukup untuk membuntukanmu! kataku. Teriakku. Tangisku. Entah.



Aku merasa aneh. Pada diriku sendiri. Perasaan iri kepada cinderella di kotamu. Cinderella yang telah kau temukan sepatu kacanya. Cinderella yang memenangkan sayembara. Sesungguhnya aku tak pernah tahu apakah engkau sungguh duduk di kereta ataukah sebuah bis antarkota. Hanya saja engkau pergi. Sudah. Begitu saja. Selembar surat terselip di engsel jendela: " jangan menulis puisi sedih! " Aku berjanji. Maaf! Hanya bisa kutepati untuk satu hari.



(BuRuLi: LeBul, 24.42.03)




Saturday, February 22, 2003



Blues Para Hantu

Buzz!
Siapa namamu?
Bungarumputliar! Jawabku.
Kenapa bungarumputliar?
Kenapa tidak?

Tiketaketik! Detik dan menit kemudian jam. Sendirian? Tidak juga. Ada seseorang diseberang sana, dibalik layar kaca. Kubayangkan ia tinggi, lebih tinggi dari aku. Barangkali aku hanya sebahu. Asik. Aku tersenyum. Entah dia. Aku perempuan. Kamu laki-laki?

Aku laki-laki! Katanya.
Aku tersenyum lagi. Sudah kuduga. Nada-nadanya yang setengah itu. Blues. Milik laki-laki.

Kamu laki-laki juga? Tanyanya tiba-tiba.
Aku tertawa. Barangkali dia tidak. Barangkali dia kecewa meskipun aku tidak. Sebab aku sungguh-sungguh perempuan dan katanya dia sungguh-sungguh laki-laki. Sudahlah. Kalau dia tidak percaya juga tidak apa-apa. Bukan salah dia. Bukan salah siapa-siapa. Dan aku siap dengan padam sumringah kuningnya. Wajar. Boleh dan sah. Aku menarik nafas. Barangkali dia juga.

Blues. Nada-nada yang setengah terengah. Malam yang sesungguhnya sepi ramai pada layar. Ketakketik tawa. Ada gambar senyum disana. Ada ciuman. Untukku? Juga peluk itu? Benar, untukku? O.

Kamu tinggal dimana? Tanyanya.
Disini. Kota ini juga! Jawabku.
Kamu?
Ya. Sama. Mau bertemu?

Blues. Biru. Ada saat ia memekikkan sayat impiannya. Ada ada dengan ini semua? Salah? Tidak. Dia siapa? Entahlah. Rupa-rupa gambar pada kepala. Putih. Hitam. Ceria atau duka. Luka atau suka. Aku siap. Entah dia.

(BuRuLi : LeBul, 020203)


Sebuah kota bernama : B

B adalah sebuah kota
Hujan mengguyuri basah
Mereka
Laki-laki
Dan perempuan
Orang-orang yang bercinta
Dalam hutan kotanya
Merana

(BuRuLi, 03.12.2002)

Saturday, February 15, 2003



Pada Sebuah Dada Hampa

Sepi itu mengingsut seperti ulat dalam dagingnya yang berdarah
Memekik-mekik memilukan sekaligus menjijikkan
Digerogotinya sel demi sel dan ditinggalkannya tinja disana
UHG!

(bungarumputliar, LeBul: 25 Nov 2002)


Itu Singgasana Palsu!

Demikianlah waktu
Telah diajarkan padamu dan aku
Orang-orang yang datang dan pergi dari hidupmu
Orang-orang yang menawarkan kehidupan lalu kematian padamu

Demikianlah sejumput rasa sunyi
Menahan diri dan hati sendiri
Menyimpan cinta dalam lemari kaca
Pandanglah dari jauh dan jangan kau sentuh dia

Tegak!
Busungkan dadamu dan banggalah dirimu
Jangan menadah cinta bersalut kenang
Jadilah dirimu sendiri dan menang!

Orang-orang yang datang dan pergi dari hidupmu
Orang-orang yang menawarkan kehidupan lalu kematian padamu
Diletakkannya engkau kedua setelah kenang
Dilukainya engkau dengan tenang

: “Jangan khawatir, kenangan adalah kenangan adalah kenangan adalah....”

Itu
Singgasana palsu!

(BuRuLi, belajar hidup lagi! LeBul: 13.12.02)


Raung, kuceritakan ini padamu !

Raung!
Aku tak takut.
Aku tahu apa yang aku kerjakan
Setajam apa Gigi setajam apa Lidah!
Aku tak takut, Raung!
Aku tahu apa yang aku kerjakan.

Sebab telah kukatakan pada diriku sendiri
: “Aku tak suka Duri! Aku tak suka Duri!”
Duri mendengarku
Duri berteriak menangis sedu
“Kau kejam!” katanya.
Biar.
Biar saja.

Dengar, Raung...
Lebih kejam lagi aku
Bila tak jujur pada Hatiku

(BuRuLi, LeBul: 14.12.02)